Setelah enam puluh tahun integrasi, Papua masih terus diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Berbagai strategi telah di tempuh negara untuk mewujudkan cita-cita Papua sebagai tanah damai. Selama dua dekade terakhir, pemerintah gencar mendorong pendekatan kesejahteraan terutama melalui otonomi khusus dan pemekaran serta berbagai inpres percepatan pembangunan.
Alih-alih mereda berbagai aksi kekerasan bernuansa konflik vertikal terus merajalela mengakibatkan ratusan korban jiwa. Bentrok senjata dengan aparat keamanan, penyerangan terhadap para pekerja ‘proyek negara’, serta perusakan fasilitas-fasilitas umum, menunjukkan resistensi yang kian kuat terhadap kehadiran negara.
Spektrum konflik juga menjalar pada dimensi horizontal akibat segregasi sosial yang kian melebar antara masyarakat asli Papua dengan warga non Papua. Pada dimensi ini resistensi ditandai dengan pelibatan unsur identitas dalam tindak kekerasan, ancaman, dan perusakan sarana-sarana yang diidentikkan dengan kehadiran masyarakat pendatang. Aksi pembunuhan terhadap warga pendatang, pembakaran kios, perusakan rumah ibadah, kian sering terjadi di berbagai daerah seperti Mimika, Jayawijaya, Puncak, Intan Jaya, Manokwari, dan Teluk Bintuni (GTP UGM, 2022).
Sejauh ini, upaya meretas jalan damai terfokus pada pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah yang terbukti belum cukup mampu menjawab persoalan. Dua dekade pelaksanaan Otsus serta pembentukan puluhan daerah otonom baru melalui pemekaran juga belum dapat menciptakan kehidupan yang lebih layak bagi sebagian besar masyarakat Papua.
Meski berbagai program percepatan pembangunan telah dirumuskan namun Papua masih terus konsisten berada pada peringkat terakhir dalam berbagai indikator capaian pembangunan. Pada saat yang sama penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah daerah baik yang dilakukan secara individu maupun pat gulipat dengan penjabat pemerintah pusat, makin sering terjadi. Kondisi ini kian memperkuat distrust dan memudarkan kepercayaan publik Papua terhadap penyelenggara negara di pusat maupun daerah.
Di tengah situasi tersebut, GTP UGM melihat bahwa upaya membangun perdamaian di Papua tidak dapat lagi hanya dengan mengandalkan peran negara sebagai satu-satunya cara. Terlebih ketika upaya top-down yang dilakukan selama ini cenderung menciptakan ekses persoalan yang berdampak pada meningkatnya ancaman konflik horizontal. Oleh karena itu, upaya meretas jalan damai yang berangkat dari inisiatif-inisiatif masyarakat perlu terus digali.
Upaya menemukan jalan alternatif bagi perdamaian di Papua dengan berpijak pada peran masyarakat ini relevan dan mendesak untuk dilakukan karena argumen sebagai berikut:
- Pertama, benih perdamaian Papua secara historis tersemai dalam relasi harmonis antar kelompok masyarakat dan umat beragama di Papua. Semangat persaudaraan dan toleransi antar umat beragama secara simbolik tercermin dalam konsep “satu tungku tiga batu”.
- Kedua, relasi harmonis antar kelompok masyarakat merupakan pilar utama bagi perdamaian yang berkelanjutan. Perdamaian Papua bisa ditempuh melalui perundingan dan dialog damai antara negara dengan pihak yang berkonflik. Namun perdamaian yang lebih permanen dan mengakar kuat sangat dipengaruhi oleh harmoni dan kohesi antar elemen masyarakat dalam berbagai ruang interaksi sosial.
- Ketiga, menguatnya segregasi sosial dan ancaman konflik horizontal perlu untuk segera diantisipasi sekaligus membuka jalan bagi peluang jalan perdamaian yang mengakar secara sosial.
Masih terbatasnya kajian/diskusi/seminar akademik mengenai upaya menemukan jalan damai yang berpijak pada peran aktif masyarakat, mendorong Gugus Tugas Papua (GTP) UGM untuk membahasnya dalam forum akademik Papua Strategic Policy Forum #14. Untuk itu, seri ke-14 kali ini akan mengangkat tema: “Refleksi 60 Tahun Integrasi Papua: Menemukan Jalan Damai dari Akar Rumput”